Takar Keshalehan



‘Dalam banyak kasus kesalehan seseorang memang tidak bisa diukur dari tampilan mulut, tulisan  apalagi pakaian,’ begitulah kutipan yang selalu terekam dalam memori saya dari novel karya Bang Tere yang berjudul Bidadari Bidadari Surga. Kata-kata sederhana, tetapi maknanya sangat menampar bagaikan gemuruh petir yang menggelegar. 

Dan setelah dipikir-pikir, saya juga sependapat dengan apa yang diungkapkan Bang Tere. Bagaimana dengan kalian? Kesalehan seseorang itu menurut saya amat misterius. Yang tahu mengenai keshalehan itu ialah diri sendiri, malaikat pencatat amal dan yang menciptakannya. Tetapi, tidak memungkinkan bahwa setiap orang pun mengetahui tingkat keshalehan dirinya sendiri. Karena, justru malah berbahaya kalau seseorang merasa dirinya paling baik, paling shaleh. Bisa-bisa malah muncul sifat takabur.

Tidak bisa kita menilai seseorang dari tampilan mulut karena kata-kata manis yang selalu dilontarkannya. Mana bisa. Siapa yang tahu jika diam-diam dalam hati ia gemar mengumpat ketika marah, kecewa atau pun sedih. Hanya saja, mungkin ia pandai menahan agar umpatannya tak sampai keluar lewat bibirnya. Tidak perlu jauh-jauh mencari bukti untuk peristiwa nyata dari hal tersebut. Berkaca, diri sendiri barangkali. Contoh kecilnya, pernahkah kita menyemangati seseorang agar selalu bersabar ketika menghadapi musibah? Mengucapkan kata-kata tersebut sungguh mudah sekali. Namun nyatanya jika kita berada dalam posisinya, belum tentu kita bisa mengimplementasikan semudah mengatakannya.

Orang yang selalu menulis kebaikan, mengajak kepada kebenaran, menasehati tentang kebathilan. Kita pun tidak bisa begitu saja mencap dirinya sebagai seorang yang shaleh. Siapa yang menjamin bahwa tulisan baik mencerminkan bahwa sikap orang tersebut juga senada? Kita tidak pernah tahu bahwa ia menulis tentang seruan untuk kebaikan tapi ternyata dirinya sendiri belum sebaik oleh apa yang ditulisnya. Belum sempurna mengamalkan apa-apa yang berada dalam tulisannya.

Apalagi penampilan. Orang berhijab lebar, pakaiannya longgar, bahkan beberapa memilih menutup sebagian wajahnya. Tidak selalu mereka itu adalah sosok sempurna, selalu taat menjauhi maksiat. Nyatanya ada juga yang meski pun penampilannya seperti itu menghalalkan jalan pacaran dengan lawan jenis. Sering memamerkan diri di media sosial.

Tetapi, ingatlah kawan. Tidak semua manusia sama. Tidak semua yang karimah lisannya, mahmudah tulisannya, syariah penampilannya, berperangai sebagaimana peristiwa di atas. Yang di atas hanyalah nol koma sekian persen manusia yang melakukannya. Sebagian dari mereka ada pula yang sungguh-sungguh ingin menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang terbaik. Berusaha mengajak sesama melalui lisan, tulisan, atau pakaian untuk mendekat kepada syari’at yang telah ditetapkan oleh-Nya dan menjauh dari perbuatan yang dilarang agama.

Sebagai sesama makhluk Allah sikap husnudzon harus selalu tertanam dalam diri. Jangan sampai tersebab kutipan di atas kita menjadi selalu was-was terhadap setiap orang yang kita temui. Jangan salahkan pada ucapan, tulisan, atau pun penampilan yang baik. Cukup salahkan pada sikapnya semata, sikapnya yang belum seirama. 

Mari sama-sama untuk terus memperbaiki diri. Menjadi pribadi yang lebih baik dari detik sebelumnya.

Sebagaimana hadist Nabi yang berbunyi: “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin dialah tergolong orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka".

#OneDayOnePost
#ODOPbatch5